My Adventure (2): Masih di langit yang sama, langit 27 Oktober 2012
Birunya langit saat itu
tak terlihat, hanya berselimutkan kabut-kabut. Trek gunung putri semakin ke atas
semakin kelihatan taringya. Entah berapa puluh derajat tingkat kemiringannya,
berpegang pada akar yang kuat, berpijak pada bebatuan, melewati pepohonan yang
melintang di tengah (ciaaattt....loncaaaaattt,) dan oww!!! Bahu sudah terasa
perih.
Di tengah perjalanan,
tiba-tiba mata ini terasa berat “mengantuk”. Papa om bilang, itu pertanda batre
tubuh sudah lowbet. Tidak lama kemudian, tanpa berpikir panjang karena di dera
lelah yang cukup menguras energi, saya dan Ita mengambil posisi.
zzz ZZZ zzz
Beralas daun-daun kering,
punggung yang menyender di akar. Saya dan Ita tertidur kurang lebih 15 menit
dengan wajah tertutupi slayer cokelat. Sepertinya Icha dan Papa Om juga sempat
tertidur. Nyenyaknya tidur saat itu plus bermimpi. (Nada Horor) sempat bertemu
dengan orang-orang yang telah lama tiada dalam kehidupan saya. Sempat bertegur
sapa dan saling tersenyum. Hamdalillah..
“Fabi ayyi
ala-i rabbikuma tukaththibani: Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu
dustakan?”
Saat tertidur, saya merasa
entah sedang ada dimana, semua terasa ringan, nyenyak dan sekejap. Nah, Ini nih
yang disebut Hotel Berbintang versi Alam Raya, lagi-lagi hanya bisa berucap
‘Alhamdulillah’.
Tertidur dalam penjagaan
rahmat Allah SWT di ketinggian 2000 meter lebih adalah nikmat yang tak
tertandingi. Meskipun hanya sekejap. Ya, yang ‘sekejap’ itu Allah memberikan
ketenangan, kedamaian, dan kesyahduan yang tak bisa di beli. Sekali lagi
kedamaian jiwa itu tidak bisa di beli sekalipun kita ‘orang terkaya di dunia’.
Dan, dalam waktu yang
sekejap itu pula, tidak lama kemudian hujan turun. Jas ujan mana jas ujan? Hiks
#Derita gak bawa jas hujan# sebenarnya bawa payung tapi masa iya ya, medannya masih berakar, berbatu, dan
berpohon, masih naik-naik ... nanti payungnya tersangkut ‘lucu sekalee’, hoho
Tapi syukurlah, cariel
sudah terlindungi rain cover dan
bagian dalam sudah di pasang trash bag
sebelumnya. Untuk penutup kepala saya berusaha menjaga jaket yang dikenakan
tidak terlalu kebasahan agar nanti malam tetap nyaman dan hangat.
Tidak terasa setelah
melewati tebing-tebing, akhirnya menemukan jalan datar juga. Itu artinya
Alun-alun Surya Kencana telah dekaaaaaaaaatttt. Alhamdulillah.
Masih ditemani rintikan
hujan, padang edelwais menyapa kami meskipun bunganya sedang tidak bermekaran.
Tidak apa-apa, setidaknya lega dan bersyukur telah sampai di tempat yang
dinantikan. Kenapa dinantikan? karena di alun-alun ini kami akan beristirahat dan berlindung dari
dingin dan gelapnya malam sebelum esok pagi melanjutkan perjalanan ke atas
puncak.
Sepanjang mata memandang terhampar
rumput dan ilalang berwarna cokelat. Di kiri dan kanan ada Bukit Gemuruh yang
mengelilingi lembah ini dengan gagah. Langit masih mencurahkan rahmat-Nya yang
entah mengapa rintikan hujan ini terasa sangat romantis. Sebelumnya saya tidak
pernah membayangkan bisa menginjakan kaki kembali disini. Berjalan di
tengah-tengah Alun-alun Surya Kencana, bak model berjalan di cat walk alam #Haru.
Sambil dengan senang hati membuka payung berwarna pink. Taraaaaa, “Payung Untuk
Pejuang Dakwah” by SRSD.
Agaknya sudah cukup jauh
kami harus berjalan mengitari alun-alun hingga sampai ke tempat yang akan
dijadikan camp. Luas Alun-alun Surya Kencana entah berapa kali lipatnya
lapangan sepak bola. Luas beud. Sabar ya Ita ... puk puk Itaaa. Ita rupanya
sepanjang perjalanan masuk angin, perutnya kembung dan sakit. Sempat khawatir
dengan kondisinya yang pucet dan berusaha menahan sakit. Segenap tenaga
diupayakan, termasuk menggali di semak-semak. Hehe piis ^^v
Setelah berjalan cukup
jauh, akhirnya menemukan tempat yang cocok untuk ngecamp. Kalau tidak salah
sekitar pukul 15.00 WIB kami baru sampai di tempat camp dan mulai mendirikan
tenda dengan kriteria: dekat ke sumber air dan lokasinya bukan diantara pusat
pertemuan titik angin lembah #nasehat papa om.
Ayo Bapak Ibu, lepas
cariel dan kita bangun istana untuk malam yang sangat mahal ini. Yeah!!!
Srat sret ... srat sreeet
... tok ... tok ... suara tenda dan patok #bukan patok ayam# ^^ kami
bersama-sama mendirikan tenda, saling membantu meskipun dingin dan keadaan
masih gerimis.
Taraaaaaaaaaaaaaaa, ini
dia: empat buah tenda dan satu dapur yang terletak di tengah-tengah menjadi
istana mewah yang berharga untuk kelangsungan hidup kami. hehe. Langkah
berikutnya adalah masuk tenda masing-masing dan segera ganti seluruh pakain
dengan yang kering. Jangan berlama-lama mengenakan baju basah dan berkeringat
apalagi tadi terkena hujan karena bisa demam #Nasehat papa om.
Menjelang sore hari, cuaca
di sekitar Surya Kencana tiba-tiba cerah kembali sampai Gunung Salak terlihat
biru di sebelah Barat. Subhanalloh. Langkah berikutnya, apa lagi kalau bukan mengisi
perut yang sudah lapar dan shalat. Saya, Icha, dan Nurul bergegas mencari
sumber mata air untuk keperluan memasak dan wudhu. Bertanya pada abang-abang
yang kebetulan berpapasan di jalan dengan tentengan botol-botol berisikan air.
Bulan ini, sungai kecil yang ada di Surya Kencana mengering berbeda saat
pendakian bulan April, sungainya deras dan jernih. Meskipun akhir-akhir ini
sering hujan tetapi sebenarnya kondisi disini baru pulih dari musim kemarau, banyak
sisa-sisa ilalang dan rumput kering yang hangus terbakar. Sehingga beberapa
waktu yang lalu Gunung Gede sempat di tutup untuk para pendaki.
Tidak lama kemudian
akhirnya sampai di sumber mata air yang kami cari. Cukup kecil tempatnya harus
turun dan sempit, tetapi airnya sangat jernih. Disana nampak beberapa
abang-abang sedang mengambil air juga. Kami antrian berikutnya, sambil menunggu
seperti biasa tradisi menyapa jangan dilupakan. Ternyata mereka adalah pendaki
dari Bekasi. Alhamdulillah, abang-abangnya berbaik hati turut mengambilkan air.
Saat mengambil air
Junior_tampang polos:
“Bang, udah ngedaki ke gunung mana aja?”
Senior_tampang yakin: Alhamdulillah
Gunung Gede, Gede, dan Gede ... Gede, Gede, Gede, Gede (sampai 7x naik terus Gn.Gede)
Junior_Senior:
Bhahaha.....#tertawa memecah kesunyian di salah satu sudut alun-alun. Demen
banget deh sama Gunung Gede.
Dalam hati, entah apa yang
membuat mereka tidak bosan mendaki gunung yang sama? Entah apa yang dicari?
tetapi saya juga merasa demikian. Pasti ada kerinduan untuk kembali meskipun
mendaki puncak yang sama.
Senja sebentar lagi menyapa dari kejauhan tenda-tenda terlihat kecil. Berwarna merah, kuning, orange, biru, abu-abu, dan lainnya. Mantap, merinding, seneeeng.
Kami kembali ke tenda
membawa berbotol-botol air. Akhirnya dapur berfungsi sebagaimana mestinya, kami
bisa memasak p*p mie, ind*mie, dan minuman hangat lainnya. Sebenarnya kami
memasak sedikit nasi, tapi hhehe nasinya masih crispy dan crunchy di
dalem, alias belum mateng dan bawahnya udah gosong. Eits, tapi kami gak gampang
nyerah lho, masak nasi yang ke dua matang. Alhamdulillah, bisa makan bareng
deh, nikmat pake banget-banget. Ditambah hangatnya kebersamaan mengobati
segurat wajah lelah para pendaki nan tangguh.
Sore itu, kami tidak
banyak melakukan aktivitas selain menikmati suasana di sekitar alun-alun dengan
khidmat. Kondisi suhu di Surya Kencana bisa berubah satu waktu. Kalau kabut
datang maka suhu disekitar berubah turun, sehingga menjadi lebih dingin.
“Kabut-kabut
itu datang kemudian pergi, pun sebaliknya. Apabila kita mau membaca
tanda-tanda alam ini, pasti ada hikmah dan pembelajaran hidup yang dapat kita
pahami"
Malam pun menjelang,
suasana menjadi lebih dingin tetapi tidak untuk para penghuni di dalam tenda,
dilingkaran kecil ini sangat hangat dan penuh kekeluargaan, ditemani api
unggun, menyeduh minuman hangat, dan bertukar cerita. Akhirnya singkat cerita mari
meredam lelah sejenak, masuk tenda kemudian istirahat. Esok, puncak Gunung Gede
menanti.
(Minggu,
28 Oktober 2012) Hamdallah .... badan masih
melingkar di dalam sleeping bag ...
otot-otot dan tulang belakang terasa berderak2 ... (Hhehe lebay) ... Yup,
bangun n shalat shubuh di dalam tenda. Zzzzttttt. Semua bebenah, masak, ngopi,
atau sekedar pemanasan. Insya Allah, sebentar lagi mau siap-siap treking ke
puncak. Oia, kebetulan kok saya gak denger yang jualan nasi uduk ya? Eh, ciyus,
di Surken ada lho. Haha apalagi weekend.
Pagi hari, Alun-alun Surya
Kencana cantik banget. Hari ini cerah, langit biru, kadang kita iseng kayak di
Swiss dari mulut keluar kepulan asap...(hehe norak) sambil foto-foto.
Alhamdulillah, tim 3 bersiap ngetrek ke puncak. Papa om waktu itu menargetkan,
siapa berani sampai atas dalam waktu 30 menit. #Jleb, apa bisa ya?
Setelah berdo’a bersama ditemani
senyum indah dan semangat pagi, maka kami pun memulai pendkian. Saya dan Icha
berada di depan, hap hap ... (ceritanya ini suara sepatu), sambil mengatur
napas yang sudah memburu, entah....badan dan kaki ini terasa ringan, lincah dan
riang gembira nampaknya menapaki jejak bebatuan, berpegang sama akar-akar, dan lihai
memilih jalan. Hari itu, saya merasa seperti istrinya tarzan (ngaraaaang) tapi
ini bener-bener terjadi.
Dan, taaaarrrrrrrrrrraaaaaaaaaaaaaa..........sampai puncak dalam waktu 28 menit (Icha bergegas ngeliat jamnya). Subhanalloh, selamat datang di Puncak Gede, 2958 mdpl.
Saat mata disajikan
pemandangan alam yang sangat menakjubkan seperti ini, tidak ada lagi ungkapan
yang paling agung nan mulia selain: Subhanalloh, Walhamdulillah, Walaailahailalloh, Wallohu Akbar.
Di depan tampak Gunung Pangrango berselimut awan putih
So, kalo udah di puncak
ngapain? Jujur, kalau sudah berada di atas pikiran pasif berteman takjub.
Rasanya puncak ya seperti itu adanya, menatap ciptaan-Nya di ketinggian tertentu,
hanya bisa merenung bahwa kita tidak patut untuk sombong. Siapa kita? punya
apa? Bisa apa? Dihadapkan dengan lukisan alam yang begitu sempurna ini. Kita hanya
manusia, seonggok daging yang diberi kasih sayang berupa napas kehidupan, agar
bisa dipergunakan dengan sebaik-baiknya bukan untuk sombong dan tinggi hati.
Saya rasa kita patut
bersyukur terutama para pendaki yang diberikan kesempatan merasakan kepingan
nikmat berada di atas awan. Semakin dekat dengan Sang Pencipta, Allah SWT.
“Pendakian
bukan hanya sekedar perjalanan biasa, tetapi juga tentang perjalanan hati
antara ia dan penciptanya”
Kelak, tidak hanya puncak gunung yang
harus kita lalui, tetapi juga tebing atau puncak kesombongan dalam diri, rasa
takut, dan keraguan yang harus kita
lalui dengan kesabaran sebagaimana kesabaran meraih puncak itu.
Kalau hikmah yang saya peroleh dari
pendakian, kita dapat belajar dari alam yang tenang dan apa adanya, mendekatkan
diri dengan Sang Pencipta itu mutlak adanya, menambah saudara, pengalaman
hidup, menempa diri, dan segambreng hikmah lainnya. Satu waktu sahabat saya
bilang “puncak itu harapan” dan saya menambhakan “proses itu kewajiban”. Menuju
puncak dengan proses yag luar biasa itu anugerah.
Begitulah, tidak lama kami berada di
atas puncak Gede. Mungkin sekitar 1 jam, setelah itu bergegas turun kembali. Yo,
ngtrek lagi. Hehe tapi tetep hati-hati ya. Jangan salah ngambil pijakan karena
bisa bahaya.
Sampai di camp, bongkar tenda dan dan
segala macamnya. Akhirnya kami semua berkumpul membentuk lingkaran besar bersama para pendaki
lain dan crew IGR (Indonesian Green Ranger). So, saat yang ditunggu-tunggu
telah tiba yaitu operasi bersih. Tiap kelompok dari kami diberikan trash bag
atau karung dan memulai operasi bersih, sampah-sampah yang berada di sekitar
alun-alun di pungut. Berasa jadi pemulung alam. Hihi
Sob, pendaki itu gak semuanya punya
kesadaran akan kebersihan alam yang baik. Di gunung masih ada saja pendaki yang
males bawa sampah pribadinya pulang, jadi di buang gitu aja di gunung. T^T
sampah rokok, bungkus mie, bungkusan snack, dan lain-lain. so, kalo kamu nanti
naik gunung, jadi pendaki yang bae yaa, rahmatan lil’alaminn, cinta alam dan
cinta Allah. Hehe jangan buang sampah sembarangan. Inget pesan mamah.
Setelah semuanya selesai,
sampah-sampah yang berhasil dikumpulkan di bawa turun. Salut bin takjub ama
panitia IGR, be strong!!! Udah mah berat bawa barang bawaan milik pribadi plus
di belakannya di tambahin beban sampah. Semoga amal sholehnya kembali menyapa
ya, tenang, biar langit yang mengatur. ^^
Akhirnya, rangkaian pendakian sumpah
pemuda dan opsih di Gunung Gede bareng IGR selesai dan sukses. Saatnya pulang,
^_^ mamah udah kangen di Garut. Huhu (lebay banget si Neng). Eng ing eeng, ngetreeeek
lagi yo, bener deh, dari tadi saya banyak nulis tentang ngetrek, ini beneran. Loncat-loncat
turun dari atas ke bawah. Mantep banget. Soalnya kalo jalan kayak putri solo
dan banyak berhenti-berhentinya dijamin tuur (tau tuur gak?) ... dengkul kalo
bahasa Indonesianya mah, itu pasti sakit dan dreeerrddtt berasa bergetar. Sips!!!
Ayo yuk, cepet sampai bawah biar gak kemaleman di utan.
==== yah, udah abis ceritanya===
Alhamdulillah
NB: My Adventure masih
berlajut deh kayaknya, hehe Insya Allah ya. Semoga diberikan umur yang berkah,
kesehatan, keselamtan, rejeki, dan kemudahan. Masih ingin merasakan pendakian
dan menginjakan kaki di puncak Mahameru, Rinjani, Kerinci, Papandayan,
Pangrango, Lawu, Sumbing, and any more. Satu saat nih ya, mohon di aamiinin ya,
bisa ngedaki bareng keluarga kecil juga. Aamiin.
kak tempat beli slayernya dimana ya?
BalasHapusHai dicky, banyak ko yg jual misal di toko outdoor. :D
BalasHapustapi punya kakak halus nggak kainnya?
Hapus